Jumat, 09 Maret 2012

Tugas Mata Kuliah Puisi


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.     Latar Belakang

Latar belakang kami membuat makalah ini adalah untuk memperdalam penetahuan kami tentang “Penulisan Puisi”, agar ketika kami membuat puisi tidak mengalami kesulitan. Selain dari itu, latar belakang kami menyusun makalah ini karena sebagai calon guru Bahasa Indonesia tentunya harus memahami tentang bagaimana penulisan puisi.

1.2.     Tujuan

Tujuan kami menyusun makalah ini adalah untuk menambah wawasan kami sebagai calon guru, dan juga untuk memnerikan pengetahuan lebih tentang Penulisan Puisi kepada pembaca. Selain dari itu, untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen yang memberikan mata kuliah Puisi ini. 


BAB II
PEMBAHASAN
PENULISAN PUISI

2.1.          Tahap-Tahap dalam Proses Penulisan Puisi
Sebelum seorang penyair berhasil menciptakan sebuah puisi, maka pada umumnya akan melewati sejumlah tahap. Utami Munandar (1993) menyimpulkan ada empat tahap dalam proses pemikiran kreatif, keempat tahap tersebut adalah:
a.       Tahap Persiapan dan Usaha
Pada tahap persiapan dan usaha seseorang akan megumpulkan informasi dan data yang dibutuhkan. Makin banyak pengalaman atatu informasi yang dimiliki seseorang mengenai masalah atau tema yang digarapnya, makin memudahkan dan melancarkan pelibatan dirinya dalam proses tersebut.
Gagasan atau ide puisi dapat juga dicari secara sengaja dari lingkungan sekitar kita, misalnya Anda akan menulis puisi yang berhubungan  dengan kehidupan seorang anak kecil penjaja koran yang harus membiayai sekolahnya sendiri. Setelah menentukan masalah tersebut, Anda akan melakukan pengamatan di lapangan. Atau ide puisi Anda muncul ketika di lapangan melihat seorang anak kecil penjaja koran. Sebelum Anda berhasil mengekspresikan kedalam sebuah puisi biasanya hal tersebut akan tetap ada dalam obsesi (beban pikiran) Anda. Obsesi tersebut akan dimatangkan dalam tahap inkubasi.
b.      Tahap Inkubasi atau Pengendapan
Pada tahap inkubasi atau pengendapan, setelah semua informasi dan pengalaman yang dibutuhkan serta berusaha dengan pelibatan diri sepenuhnya untuk menimbulkan ide-ide sebanyak mungkin, maka biasanya diberlakukan waktu untuk mengendapkan semua gagasan tersebut diinkubasikan dalam alam prasadar, yaitu semua pengetahuan dan pengalaman relevan yang pernah diperoleh, tetapi tidak diingat lagi secara sadar (Munandar, 1993). Dalam tahap ini Anda akan menggunakan empati bagaimana seandainya Anda sendiri yang mengalami nasib menjadi penjaja koran itu.
c.       Tahap Iluminasi
Setelah Anda mengalami tahap inkubasi anda akan mencoba mengekspresikan masalah tersebut dalam sebuah puisi. Tahap inilah yang disebut tahan iluminasi. Dalam mengekspresikan idea tau gagasan puisi dibutuhkan keterampilan bahasa karena bahasalah yang akan Anda gunakan sebagai media ekspresi.
Pada tahap iluminasi atau mengekspresikan gagasan atau ide dalam karya puisi, ada hal yang harus kita perhatikan, yaitu berkaitan dengan sifat ekspresi puisi yang secara karakteristik berbeda dengan prosa. Selain itu juga kadar kepadatan ekspresinya. Ekspresi puisi bersifat padat sedangkan prosa tidak. Contohnya sebagai berikut:

(1)   Kibaran koran sore di tanganmu
betapa indah dan memanggil-manggil
meraka yang menunggu bis penjemput ke entah
(2)   Dengan cetakan anak kecil itu melambai-lambai-
kan koran sore yang dibawanya kepada orang-orang
yang berdiri menunggu datangnya bis di terminal
itu. Beberapa orang tertarik untuk membelinya.
Ada yang karena sekedar kasihan dengan si anak.
Tetapi ada juga yang karena ingin mengetahui
Berita sore itu.

Dari dua contoh diatas, dapat kita rasakan bahwa contoh (1) memiliki ekspresi yang lebih padat dari pada contoh (2), sehingga dapat dikatakan (1) contoh puisi dan (2) contoh prosa.
d.      Tahap Verifikasi
Ketika seorang penulis melakukan penilaian secara kritis terhadap karya sendiri. Bila perlu, karya tersebut dapat dimodifikasi, direvisi, sitambah, atau dihilangkan baguan-bagian yang tidak sesuai menurut perasaannya. Tujuan dari verifikasi adalah untuk menghasilkan suatu karya yang siap untuk dikomunikasikan.

2.2.     Penulisan Puisi

a.       Penulisan Puisi Anak-Anak
Orang biasanya menggolongkan anak-anak dalam kelompok usia prasekolah sampai dengan sekitar dua belas sampai lima belas tahun atau sampai mereka ditingkat sekolah menengah. Usia mereka memiliki hubungan yang sangat erat dengan dunia, minat, cakrawala, pola piker, serta kemampuan bahasanya. Hal itulah yang akan berpengaruh dalam aktivitas tulis-menulis, termasuk penulisan puisi oleh karena itu, kalau kita bicara tentang puisi anak-anak kita harus memperhatikan hal-hal tersebut.
Untuk mengetahui karakteristik puisi anak-anak, perhatikan dua kutipan berikut yang diambil dari kutipan puisi Sejuta Pohon di Yogyakara (1994), yang merupakan puisi tingkat SD dan SMP.
Devi Catur Pawestri
Kelas 1 SD, 7 Tahun
Jam
Aku punya jam baru
Hadiah dari ibu
Karena aku rangking satu
Jamku warnanya biru
Selalu menemani tidurku
***
Dari conoh puisi anak tersebut kita dapat melihat bahwa bahasa yang digunakan untuk mengekspresikan puisi tersebut masih amat sederhana, puisi yang dibuat oleh Catur bercerita tentang jam barunya. Cerita tersebut memang dapat disampaikan secara prosa, tetapi Catur menyampaikannya dalam tipografi puisi. Puisi tersebut sangat erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari.
Meningkat usia anak juga mempengaruhi luasnya wawasan dan keterampilan penggunaan bahasa dalam puisi anak. Puisi tersebut sudah mengekspresikan dengan menggunakan pilihan kata yang puitis, bahasa kiasan, serta gaya bahasa.
Fransisca Andriana Titi Rosari
Kelas VI SD, 11 Tahun

Sejuta Pohon di Yogyakarta

Benih tlah kami tabur
tunaspun tumbuh subur
menumbuhkan hapan kita

Hijau-hijaulah kotaku
mengiringi deru teknologi
membangun Yogyakarta rindang berhati

sejuta benih kami tabur
sejuta tunas tlah tumbuh subur
sejuta harap kita bangkitkan
membangun Yogyakarta tercinta

Dalam puisi ini telah menggunakan metafora: hijau-hijaulah kotaku/mengiringi deru teknologi, personifikasi: sejuta harap kita bangkitkan/membangun Yogyakarta tercinta, juga hiperbola dan repetisi pada:
sejuta benih kami tabur
sejuta tunas tlah tumbuh subur
sejuta harap kita bangkitkan

untuk mebuktikan bahwa puisi anak-anak memiliki karakteristik yang berbeda dengan puisi remaja dengan orang dewasa, bandingkan contoh berikut:




Puisi Remaja
Rivia Handayani
Triping
Triping
diiringi house music
dan gemerlap lampu
berjingkrak bergoyang
tak sadarkan diri

Maksud hati tlah tercapai
lupakan segala masalah dan halusinasi
menggapai kegembiraan tiada tara

Rasa takut ketinggalan zaman
sirnalah sudah
Tanpa sadar jiwa terancam
karena sebutir ecstasy
(Dikutip dari majalah Horison, Desember 1996)

Puisi Orang Dewasa

Sapardi Djoko Damono

Cermin

Cermin tak pernah berteriak, ia pun tak pernah
meraung, tersedan, atau terisak
meski apapun jadi terbalik di dalamnya,
barang kali ia hanya bisa bertanya:
mengapa kau seperti kehabisan suara
(Dikutip dari Sihir Hujan, 1984)

Anda dapat melihat bahwa puisi remaja yang ditulis oleh Rivia, menggambarkan kehidupan yang dialami para remaja. Puisi tersebut menggunakan ekspresi langsung dan bahasa denotatif. Hal itu berbeda dengan puisi Sapardi Djoko Damono. Walaupun semua kata dalam puisi Sapardi kita kenal, tetapi disitu digunakan personifikasi (untuk cermin) sehingga berpengaruh terhadap makna puisi. Ada ekspresi yang bersifat tak langsung dalam kontak antara si aku dengan cermin.
Dari contoh puisi anak-anak dan perbandingan dengan puisi remaja serta puisi orang dewasa. Kita dapat mnyimpulkan puisi anak pada umumnya memiliki ciri:
1.      Masalah sesuai dengan dunia dan pola piker anak-anak, seperti sekolah, pemujaan terhadap guru dan orang tua;
2.      Ekspresi cendrung langsung.
3.      Bahasa denotatif;
4.      Singkat;
5.      Unsure kepuitisan dicapai lewat ulangan kata dan bunyi.

b.      Penulisan Puisi Remaja
Mereka yang digolongkan remaja biasanya berkisar pada usia kurang lebih enam belas tahun sampai lima belas tahun atau mereka yang duduk si SMP akhir sampai perguruan tinggi. Pada kelompok usia ini mereka mulai tertarik pada masalah cinta murni. Cinta diantara laki-laki dan perempuan yang suci bersih yang kadang hanya timbul dalam perasaan saja (Siwar 1984). Hal ini tentu sesuai dengan perkembangan psikologis mereka pada usai remaja. Oleh karena itu puisi remaja pun banyak berbicara masalah cinta, seperti tampak pada contoh berikut.
M.I. Irwan T.
Kata Hati
Maafkanlah aku...
Bila aku membuatmu
Merasa terganggu
Dengan kehadiranku…
Di dalam hati, aku…
Aku mencintaimu
Dengan sepenuh hatiku
Dengan sepenuh jiwa ragaku…

Hanya kepadamu…
Berada di dekatmu..
Merasakan belaian kasih sayingmu..
Merasakan kebaikan cintamu

Kepadamulah kuserahkan jiwaku…
Hidup matiku di tanganmu…
Maafkan aku
Cintaku…hanya untukmu…
(dikutip dari majalah Horison, Desember 1996)

Berbeda dengan anak-anak, remaja sudah tidak lagi memuja guru-gurunya di sekolah, tetapi memuja kekasihnya, seperti dapat dilihat dalam puisi Irwan tersebut. Tema atau masalah puisi remaja tidak hanya dimonopoli oleh masalah cinta, tetapi masalah lain yang berkaitan dengan kehidupan mereka, misalnya masalah kehidupan remaja yang suka disco. Tema puisi remaja pun mulai beragam, baik yang berkaitan dengan diri mereka, seperti masalah cinta, lingkukan, renungan tentang kehidupan dan maut dalam hubungannya dengan Tuhan, maupun kepedulian terhadap peristiwa di sekitarnya. Contoh puisi berikut menunjukkan hal itu.
Ridianto Asehari
Akhir Dosa
Tuhan
Mengapa Kau buat dunia semakin fana
Mengapa Kau buat orang-orang berlumur dosa
Mengapa Kau buat orang kecil sengsara
Mereka yang tidak tahu apa-apa
Menjadi korban ambisi yang gila
Perang Bosnia,
Pemberontakan Grilia?
Apakah itu suatu ujian?
Kapan semua ini berakhir?
Apakah dunia bersih dari dosa?
Seperti sejak Kau ciptakan semula.
(Dikutip dari Sejuta Pohon di Yogyakarta, 1994)

Ririn Utami Wahyu Sumanto
Maut
Dia datang tak diundang
Dia datang untuk akhiri segalanya
Dia datang tiada pernah yang tahu
Dia datang untuk jemput jiwamu kembali

Kemana pun kau lari
Di mana pun kau bersembunyi
Kau takkan bisa lepas dari-Nya
Karena takdirmu telah tiba

Dia datang untuk akhiri ceritamu
Segala yang ada padamu
Kini tiada arti lagi
Dia datang untuk jemput jiwamu

Dalam tidurmu yang abadi
Dengan berbekal iman dan taqwa
Kau akan sendiri
Tiada yang temani tidur panjangmu

Dia datang karena takdirmu telah tiba
Kita ceritamu telah berakhir
Ini kau tidur tanpa daya
Tidur dengan jiwa yang kosong

Sekarang perhatikan ekspresi yang digunakan dalam sejumlah puisi remaja tersebut. Pada umumnya mereka masih menggunakan ekspresi yang bersifat langsung. Bahasa kiasan yang digunakan masih dalam taraf sederhana sehinga mudah untk dipahami. Seperti “Maut’ yang dipersonofikasikan sebagai manusia yang akan datang menjemput manusia.
Kalau kita simpulkan karakteristik puisi remaja, sebagai berikut:
1.      Tema-tema yang diolah beragam, mulai dari masalah cinta, pergaulan dalam dunia remaja, kehidupan terhadap lingkungan dan keadaan sekitarnya, sampai renungan kehidupan dan kematian.
2.      Ekspresi cenderung bersifat langsung.
3.      Penggunaan bahasa kiasan dalam taraf sederhana.
4.      Makna puisi mudah dipahami.
5.      Dibandingkan puisi anak-anak yang singkat, puisi remaja lebih panjang.


c.       Penulisan Puisi Dewasa

Penyebutan puisi dewasa sebetulnya tidak lazim kerena biasanya puisi yang ditulis oleh orang (penyair) dewasa hanya disebut puisi saja. Dengan demikian penyebutan tersebut hanya dalam konteks pengajan puisi di sekolah dan dalam rangka membedakan dengan puisi anak-anak dan remaja.
Puisi orang dewasa cenderung memiliki ciri stuktur yang lebih kompleks. Baik ekspresinya maupun bahasanya. Coba amatilah penggunaan bahasa, ekspresi, dan makna puisi berikut ini:

Bintang Kemukus
Bintang kemukus
lewat, layu lenyap

Hampir tak terluhat
isyarat itu

Mengapa engkau terkesiap: wabah
atau ketakutan
yang menunggumu, yang menunggumu?

Tidak. Tidak. Tidak.
Hidup hanya sehimpun headline
ketika kita lewat terbaca
huru-hara yang habis di halaman lain
di sebuah dunia, kita tak tahu lagi di mana
(Goenawan Mohamad, 1992)

Puisi diatas ini menggambarkan bagaimana manusia menghadapi datangnya isyarat bencana, yang memang bisa dialami manusia, disampaikan Goenawan Mohamad dengan memanfaatkan bahasa kiasan dan simbol Bintang kekumus, dalam kepercayaan orang Jawa dikaitkan dengan isyarat bencana yang akan datang. Dengan simile Goenawan menyamakan hidup dengan sehimpunan headline, yakni berita utama dalam surat  kabar, untuk mengatakan apa yang dialami manisia  dimana saja sama.
 



BAB III
KESIMPULAN

Sebelum seseorang dapat menulis puisi, maka ia akan melalui beberapa tahap. Tahap-tahap tersebuat adalah:
1.      Tahap persiapan dan usaha;
2.      Tahap inkubasi atau pengendapan;
3.      Tahap iliminasi;
4.      Tahap verifikasi.

Dalam penulisan puisi dibagi atas beberapa jenis, jenis ini ditentukan oleh tingkat usia penulis. Jenis-jenis puisi tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Penulisan puisi anak-anak;
2.      Penulisan puisi remaja;
3.      Penulisan puisi dewasa.

Tugas Mata Kuliah Prosa, Fiksi dan Drama


 PROSA, FIKSI DAN DRAMA

“TUGAS INDIVIDU”






DISUSUN OLEH
ANNISA PARAMITA


NPM   : 106211993


DOSEN PENGAMPU
DARUSMAN, AR., M.Pd

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
PEKANBARU


 
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.         Latar Belakang  Makalah
Adapun yang melatar belakangi penulis yakn, penulis ingin mengetahui lebih jauh tentang perbedaan fakta dengan fiksi, kajian paradigmatik dan sintagmatik, dan menganalisis penokohan melalui analitik dan dramatik. Dalam makalah ini penulis membahas dengan memberikan contoh yang diambil dari beberapa novel agar mudah dalam menganalisisnya.

1.2.          Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan penulis menyusun makalah ini adalah untuk memahami lebih dalam tentang unsur-unsur yang terdapat dalam novel, penganalisisan novel, serta kajian yang terdapat dalam novel.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1.        Membedakan  Fakta dan Fiksi dengan Sebuah contoh
Fakta dianggap sebagai saudara kembar fiksi, atau fiksi diperlakukan sebagai adik kandung fakta. Sebuah kenyataan, segala sesuatu yang pernah ada atau peristiwa yang sungguh terjadi dan dapat dibuktikan kebenarannya, itulah yang disebut fakta. Ia harus ada dan pernah terjadi. Jika kemudian ternyata tak sesuai dengan kenyataan, tak pernah ada, dan peristiwa itu belum terjadi, maka fakta itu harus kita tolak. Fakta itu tidak benar.
Fakta bergantung dari cara pengolahannya, bagaimana dan untuk tujuan apa ia disampaikan. Jika tujuannya menipu atau menghapusi sesuatu, maka itu disebut kebohongan. Ia bukan fakta. Tetapi, jika fakta itu mengalami pengolahan imajinatif, memasukkan intelektualitas, membangun sebuah dunia yang koheren, dan menciptakan sebuah kehidupan imajiner, maka itulah yang disebut fiksi. Ia sangat mungkin sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya, tetapi boleh jadi pula sekadar rekaan yang memanfaatkan fakta sebagai bahan dasarnya. Ini artinya, fakta telah mengalami proses rekayasa, sehingga tidak lagi bersifat faktual, melainkan fiksional.
Fakta dalam sebuah cerita meliputi karakter (tokoh cerita), plot, dan setting. Ketiganya merupakan unsure fiksi yang secera factual dapat dibayangkan peristiwanya, eksistensinya, dalam sebuah novel. Ketiga unsure ini harus dipandang sebagai satu kesatuan dalam rangkaian keseluruhan cerita, bukan sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan terpisah satu dengan yang lain.
Dari uraian di atas penulis menyimpulkan bahwa fiksi bisa berupa fakta yang diberi imajinasi oleh sipengarang, fiksi  juga diartikan sebagai cerita yang berdasarkan rekaan atau imajinasi sipengarang. Dan fakta adalah kenyatan yang benar terjadi dalam cerita itu. Fakta juga merupakan unsur fiksi.
Misalnya dalam novel “Belenggu”, novel ini termasuk karya fiksi. Karena, cerita “Belenggu” ini tidak benar-benar terjadi melainkan hanya rekaan atau imajinasi pengarangnya saja (hanya imajinasi Armijn Pane). Sedangkan fakta dalam cerita ini adalah sebagai berikut:
1.    Karakter (tokoh cerita) yang terdapat dalam novel ini seperti tokoh Dokter Sukartono, Tini, Nyonya Eni alias Yah, karno, Hartono, dan lain-lain.
2.    Plot (alur) dalam novel ini, memakai alur bolak-balik atau maju-mundur. Karena, pertama pengarang menceritakan masalah rumah tangga Dokter sukartono dengan Tini dan bertemu dengan pasien yang bernama Nyonya Eni. Kemudian pengarang menceritakan tentang masa lalu Dr. Sukartono dengan Nyonya Eni, lalu kembali lagi dengan kehidupan Dr. sukartono pada masa sekang yang akirnya bercerai dengan Tini dan juga tidak bersama Nyonya Eni.
3.    Setting yang terdapat dalam novel belenggu dangat beraneka ragam, misalnya setting tempat, ada kalanya di rumah Dr. Sukartono, hotel tempat tinggal Nyonya Eni alias Yah, pantai, dan sebagainya.

2.2.        Analisis Penokohan Berdasarkan Teknik Analitik dan Teknik Dramatik

2.2.1.    Teknik Analitik
Pelukisan tokoh cerita dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung. Tokoh cerita hadir dan dihadirkan oleh pengarang ke hadapan pembaca secara tidak berbelit-belit, melainkan begitu saja dan langsung disertai deskripsi kedirinya, yang mungkin berupa sikap, sifat, watak, tingkah laku, atau bahkan juga cirri fisiknya.
Kutipan berikut merupakan contoh teknik analitik yang diambil dari novel terjemahan yang berjudul “The Empath”. Dalam novel ini pengarang mendeskripsikan tokoh utamanya mulai dari kalimat pertama cerita. Pengarang menceritakan siapa Nicolas (tokoh utama), keadaan Nicolas saat itu serta bagaimana kesetiaan Nicolas terhadap kawanannya.

Kematian denagan taring dan cakar panjang mengejarnya.
Musuh memburunya. Nicolas, sang prajurit terkuat. Pejuang terbaik dalam kawanannya. Anggotanya yang diasingkan.
Nicolas Keenan menengadahkan moncongnya, mengendus angin. Menangkap bau pemimpin kawanannya menandai pohon ek terdekat. Tubuh srigalanya menegang dengan kerinduan. Kawanan. Rumah. Keluarga.
Tapi ia sudah tidak lagi memiliki keluarga. Meskipun diam-diam ia terus berpatroli di wilayah itu, melindungi kawanannya, dan meskipun kesetiaan Nicolas tidak akan pernah luntur, ia sudah dibuang kawanannya.
Ia adalah Draicon, manusia srigala yang dulu menggunakan magick untuk mempelejari bumi dengan segala keajaibannya. Kini, diburu oleh Morph yang lebih kuat, dengan putus asa mereka menggunakan kekuatan itu untuk berusaha menyelamatkan diri.
…………
(The Empath, 2009: 7)

Teknik pelukisan tokoh seperti diatas bersifat sederhana. Hal ini merupakan kelebihan teknik analitik tersebut. Pengarang dengan cepat dan singkat dapat mendeskripsikan kedirian tokoh ceritanya.
Kedirian tokoh yang dilakukan secara langsung oleh pengarang akan berwujud penuturan yang bersifat deskriptif pula. Hal ini yang menyebabkan pembaca akan dengan mudah memahami ciri-ciri kedirian tokoh tanpa harus menafsirkannya sendiri dengan kemungkinan kurang tepat. Namun, hal ini pulalah yang dipandang orang sebagai kelemahan teknik analitik ini. Karena, kedirian tokoh dideskripsikan secara jelas, sehingga pembaca seolah-olah kurang didorong untuk ikut serta dan kurang diberi keempatan memberikan tanggapannya.
2.2.2.   Teknik Dramatik
Penampilan tokoh cerita dalam teknik dramatik, artinya mirip dengan yang di tampilkan pada drama, dilakukan secara tidak langsung.Artinya pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh. Pengarang membiarkan para tokoh cerita untuk menunjukkan kedirianya sendiri melalui berbagai aktifitas yang dilakukan, baik secara verbal lewat kata maupun nonverbal lewat tindakan atau tingkah laku, dan juga melalui peristiwa yang terjadi.
Kelebihan teknik dramatik yang lain adalah sifatnya yang lebih sesuai dengan situasi kehidupan nyata. Wujud penggambaran teknik dramatik dapat dilakukan dengan sejumlah teknik, anta lain sebagai berikut:

a)    Teknik Cakapan
Percakapan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita biasanya juga dimaksudkan untuk mengagambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan. Bentuk percakapan dalam sebuah karya fiksi, khususnya novel, umumnya cukup banyak, baik percakapan yang pendek maupun yang (agak) panjang.

b)   Teknik Tingkah Laku
Teknik tingkah laku menyarankan pada tindakan yang bersifat nonverbal, fisik. Apa yang dilakukan orang dalam wujud tindakan dan tingkah laku, dapat dipandang menunjukkan reaksi, tanggapan, sifat, dan sikap yang mencerminkan sifat-sifat kedirinya.

c)    Teknik Pikiran dan Perasaan
Bagaimana keadaan dan jalan pikiran serta perasaan, apa yang melintas di dalam pikiran dan prasaan. Serta apa yang sering dipikirkan dan dirasakan tokoh, dalam banyak hal mencerminkan sifat-sifat kediriannya jua. Teknik pikiran dan prasaan dapat ditemukan dalam teknik cakapan dan tingkah laku.
d)    Teknik Arus Kesadaran
Teknik arus kesadaran berkaitan erat dengan teknik pikiran dan perasaan. Keduanya tak dapat dibedakan secara pilah, bahkan mungkin dianggap sama karena memang sama menggambarkan tingkah laku batin tokoh.

e)    Teknik Reaksi Tokoh
Teknik reaksi tokoh dimaksudkan sebagai reaksi tokoh terhadap suatu kejadian, masalah, keadaan, kata, dan sikap-tingkah-laku orang lain, dan sebagainya yang berupa “rangsang” dari luar diri tokoh yang bersangkutan.

f)     Teknik Reaksi Tokoh Lain
Reaksi tokoh(-tokoh) lain dimaksudkan sebagai reaksi yang diberikan oleh tokoh lain terhadap tokoh utama, atau tokoh yang dipelajari kediriannya, yang berupa pandangan, pendapat, sikap, komentar dan lain-lain.

g)    Teknik Pelukisan Latar
Suasana latar sekitar tokoh juga sering dipakai untuk melukiskan kediriannya. Pelukisan suasana latar dapat lebih mengintensifkan sifat kedirian tokoh seperti yang telah diungkapkan dengan berbagai teknik yang lain.

h)    Teknik Pelukisan Fisik
Keadaan fisik seseorang sering berkaitan dengan keadaan kejiwaannya, atau paling tidak, pengarang sengaja mencari dan memperhubungkan adanya keterkaitan itu.
Dari beberapa teknik diatas penulis akan membahas teknik cakapan dan teknik tingkah laku dengan menggunakan contoh, sebagai berikut,
(1)  Teknik cakapan

“Nicolas? Apa yang ada di luar sana?”
………
“Duduklah, Meggie.” Nicolas menuntun wanita itu ke sofa empuk bermotif  bunga. Meggie duduk, terlihat agak goyah.
“apa yang tadi menyerah pintumu, dan sudah aku tangani, adalah makhluk yang dinamakan Morph. Makhluk yang dapat berubah bentuk.”
Meggie memberinya tatapan kosong. Nicolas menereuskan. ”Makhluk itu menggunakan ilmu magick hitam untuk berubah  wujud menjadi binatang apa pun dan mencari mangsa untuk dihancurkan. Makhluk mereguk energy dan rasa takut dari korban mereka yang sekarat. Mereka membutuhkan energi konstan untuk tetap hidup dan melakukan magick. Semakin lama korbannya mati, atau semakin banyak rasa takut yang dihasilkan sang korban, semakin banyak makanan utuknya.”
Nicolas berhenti, mengamati kesangsian yang terbit di kedua mata Maggie. “makhluk itu mengincarmu, Maggie.”
Maggie mengusap-usap dahinya. “aku pasti sudah mabuk. Apa tadi kau bilang makhluk yang dapat berubah bentuk?”
“Morph. Mereka berubah wujud menjadi binatang yang berbeda-beda”
……….
(The Empath, 2009: 73-74)

(2)  Teknik tingkah laku
Tidak seperti biasa, hari ini aku pulang lebih awal. Aku sengaja tidak bergantung tidak bergantung dengan teman-teman sesuai belajar. Aku ingin menampilkan perubahan sikapku dihadap bapak dan ibu bahwa aku mampu menjadi anak yang menyenangkan. Bukankah selama ini aku lebih sering menjengkelkan hati mereka? Aku selalu pulang sore, bahkan malam. Alas annya aku belajar di rumah Roy karena ada PR yang tidak bida kukerjakan sendiri atau ada kegiatan ekstrakulikuler di sekolah yang tidak bisa kutinggalkan.
…………………
(Sebuah Episode, 2008: 11)

2.3. Rangkaian Peristiwa (Alur) Berdasarkan Kajian sintagmatik dan Paradigmatik

sintagmatik adalah hubungan unsur-unsur kebahasaan yang muncul dalam satu urutan sesuai dengan linearitas bahasa.
kata-kata yang memiliki salah satu segi persamaan dapat berasosiasi dalam pikiran. Dengan demikian, terbentuklah kelompok kata-kata yang memiliki hubungan berbeda-beda. Hubungan jenis ini disebut hubungan paradigmatic. Hubungan paradigmatik berada dalam pikiran, merupakan kemampuan pribadi seseorang dalam memakai bahasa
Dalam suatu karya naratif terdapat tiga tataran, yaitu (1) tataran fungsi-fungsi; (2) tataran tindakan; dan (3) tataran penceritaan. Masing-masing tataran terikat satu sama lain sesuai dengan cara berintegrasi yang progresif. Artinya, bahwa suatu fungsi hanya memiliki arti apabila ia mendapat tempat dalam tindakan umum yang dilakukan oleh actant, dan tindakan ini pun baru memperoleh arti apabila diceritakan, dimasukkan dalam suatu wacana yang memiliki kode tersendiri.
unsur-unsur yang mempunyai hubungan sintagmatik dibedakan menjadi dua kategori, yaitu (1) fungsi-fungsi utama dan (2) katalisator. Yang pertama merupakan tulang punggung cerita, yang memiliki hubungan kronologis dan logis. Sedangkan yang kedua merupakan unsur-unsur yang hanya berperan melengkapi. Katalisator hanya dapat memiliki hubungan kronologis saja antara satu dengan lainnya, dan biasanya terdapat pada urutan peristiwa.
Unsur-unsur yang memiliki hubungan paradigmatik bersifat integratif. Unsur-unsur itu tidak mengacu pada suatu tindakan pelengkap atau suatu akibat. Akan tetapi, unsur-unsur tersebut akan mengacu pada suatu konsep yang kurang lebih menyebar. Walaupun demikian, unsur-unsur tersebut sangat penting bagi makna cerita. Oleh karena itu, unsur tersebut dapat dikatakan mencakup semua indeks, misalnya tentang sifat tokoh, identitasnya, ataupun mengenai suasana. Barthes membagi atau membedakan indeks menjadi dua kategori, yakni (1) indeks utama dan (2) informan. Indeks utama menerangkan sifat-sifat tokoh, identitasnya, perasaannya, sifatnya, filsafatnya, dan lain sebagainya. Sedangkan informan menjelaskan tentang waktu dan tempat. Indeks biasanya bersifat implisit sehingga perlu diuraikan, sedangkan informan umumnya dinyatakan secara eksplisit.


BAB III
PENUTUP

3.1.         Kesimpulan
1.    Fiksi adalah cerita yang berdasarkan rekaan atau imajinasi sipengarang. Dan fakta adalah kenyatan yang benar terjadi dalam cerita itu. Fakta juga merupakan unsur dari fiksi.
2.    Teknik analitik adalah tektik pelukisan tokoh cerita yang dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung. Dan teknik dramatik mirip dengan yang di tampilkan pada drama, dilakukan secara tidak langsung.Artinya pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh.
3.    sintagmatik adalah hubungan unsur-unsur kebahasaan yang muncul dalam satu urutan sesuai dengan linearitas bahasa. Dan Hubungan paradigmatik berada dalam pikiran, merupakan kemampuan pribadi seseorang dalam memakai bahasa


DAFTAR PUSTAKA

Nurgiantoro, Burhan. 2010. Teoro Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University          Perss
Safnas, Hanum. 2008. Sebuah Episode Novel. Jakarta: Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah
Pane, Armijn. 1992. Belenggu. Jakarta: Dian Rakyat
Vanak, Bonnie. 2007. The Empath.             : Harlequin Enterprises (Terjemahan dalam Bahasa Indonesia oleh Elliyanti Jacob Saleh. 2009. Sang Empath. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama)
http://jabrohim.wordpress.com/kuliah-4-kajian-prosa-fiksi-dan-drama-ii/
http://mahayana-mahadewa.com/fakta-dan-fiksi-pertalian-sastra-dan-sejarah/